Kamis, 14 Juni 2012

Membongkar Aib Negeri

Pada zaman sekarang, di negeri ini, sulit sekali 
untuk mencari tempat yang bebas dari korupsi. 
Korupsi memang tidak mengenal istilah apakah 
kelasnya besar atau kecil. Korupsi ya korupsi, 
apakah itu uang, waktu, tenaga, atau materi 
lainnya. Tidak ada istilah negosiasi dalam 
mendefinisikannya! 
“Aku di purchasing, bagian import. Jadi nggak 
usah khawatir. Aku nggak kerja di tempat basah 
kok! Justru yang aku sekarang lagi bingungi adalah 
perusahaan di Indonesia ini banyak sekali 
manipulasinya. Dan itu hampir di semua 
perusahaan dan semua departmen. Misalnya 
pajak. Aku saat ini lagi dalam dilema antara terus 
bekerja atau berhenti. Karena aku tahu bahwa ada 
manipulasi di perusahaan. Dan aku merupakan 
bagian itu. Aku pernah bilang sama boss tentang 
hal ini. Tetapi jawabnya... kalau itu nggak kita 
lakukan perusahaan ini nggak bisa jalan, karena 
perusahaan yang lain semua melakukakannya.” 
“Aku bingung. Kalau aku mau bersih mestinya 
aku nggak boleh bekerja di instansi ini. Aku 
berencana pingin keluar tapi aku masih tunggu 
sampai hutang-hutang lunas. Bagaimana menurut 
anda? Apa langkah yang aku lakukan ini benar?” 
Begitu kata Asri, seorang ibu, karyawan sebuah 
perusahaan di Jakarta kemarin, yang sedang 
gundah menghadapi negeri yang dilanda korupsi 
bertahun-tahun ini. Di tengah-tengah gejolak para 
politikus yang berkampanye dengan salah satu 
visi dan misinya yang antara lain ingin 
memberantas korupsi ini, saya memang agak 
'pesimis' ini bisa terjadi. Habis! Jujur saja, saya 
pernah melakukannya, demikian pula teman- 
teman saya lainnya, meskipun tidak sekelas 
koruptor-koruptor ulung kita yang mengeruk 
kekayaan negara dan membawanya ke luar 
negeri. 
Bagaimana tidak korupsi ya? Waktu itu honor 
saya cuma lima belas ribu rupiah. Tinggal di 
asrama yang disediakan oleh rumah sakit tempat 
saya bekerja, makan juga tersedia. Tapi cukupkah 
penghasilan yang sedemikian? Dua puluh tahun 
lalu, saya nggak tahu bagaimana orang 
menilainya, tapi kalau dibandingkan gaji pegawai 
negeri golongan IIA, honor tersebut hanyalah 
25%-nya. Kecilkan? Relatif. Saya dibayar sebagai 
tenaga honorer di sebuah rumah sakit 
pemerintah. 
Sebagai tenaga honorer yang baru kerja, saya 
akui serba takut. Takut karena belum 
berpengalaman dalam banyak bidang, salah 
satunya adalah soal uang ini. Lambat laun saya 
'diajarin' rekan-rekan senior bagaimana bisa 
mendapatkan uang 'tambahan'. Sebagai yunior, 
kadang saya nggak bisa apa-apa kecuali 
'membenarkan nasehatnya'. Satu, dua, tiga, dan 
entah berapa kali, akhirnya saya terbiasa 
mendapatkan uang-uang yang tidak sehat ini. 
Alhamdulillah saya akhirnya menyadari, bahwa 
lingkungan kerja semacam ini tidak mendidik 
secara moral. Saya pun pindah kerja! 
Di tempat kerja yang baru pun, bukannya tambah 
baik. Kok teman-teman kerja yang gajinya masih 
di bawah angka penghasilan bulanan saya ini bisa 
gonta-ganti pakaian setiap saat, punya kendaraan 
bermotor, dan kelihatannya selalu punya uang ya? 
Su'udzon sih tidak, tapi kita kan menggunakan 
kalkulasi logis? Di kantor kami, memang ada yang 
disebut daerah 'basah' dan ada pula daerah 
'kering'. Yang disebut pertama, sudah menjadi 
rahasia umum. 
Saya sendiri akhirnya 'terdidik', untuk melipat- 
gandakan jumlah honor kerja lapangan di luar gaji 
rutin bulanan. Misalnya, aslinya kita bekerja hanya 
8 jam seminggu di lapangan, kemudian diminta 
oleh pimpinan untuk melipat-gandakan di atas 
kertas menjadi 32 jam, atau 400%. Sang 
pimpinan, meskipun dia tidak ikut kerja, tapi 
namanya tercantum didalam daftar pekerja 
lapangan. Nah! Sebagai seorang staf saya tidak 
bisa berbuat apa-apa. Sistemnya dari dulu seperti 
itu! Semua orang melakukannya. 
Kepala Tata Usaha (KTU)? Jangan tanya! Hampir 
bisa dipastikan, setiap karyawan di kantor kami, 
'menyisipkan' sejumlah uang ke sakunya, 
sebelum diterima di instansi kami. Alhamdulillah, 
dengan bantuan Allah SWT, yang ini tidak saya 
lakukan! Sementara karyawan lain, ada yang 
harus mengangsur sesudah diterima jadi 
pegawai. Malangnya, sekitar 10 tahun kemudian, 
saat saya sudah tidak bekerja lagi di kantor 
tersebut karena pindah, sempat ketemu beliau, 
mantan KTU tersebut. Saya terharu dibuatnya. 
Beliau masih juga belum punya rumah! Padahal 
sudah pensiun, dan anak-anaknya menginjak usia 
dewasa, bahkan bercucu. Adakah ini dampak dari 
sebagian uang haram yang diperolehnya? Hanya 
Allah SWT Yang Maha Tahu! 
Empat tahun kemudian saya pindah kerja lagi. Di 
institusi yang baru ini, milik sebuah yayasan 
Katolik terkenal di kota kami, terlihat 'bersih'. Kultur 
kerja karyawannya terkenal: dedikasi tinggi, bebas 
korupsi! Sekilas slogannya memang begitu, bagi 
kami orang-orang 'sipil'. Artinya, segala sesuatu 
yang menyangkut uang, dikendalikan oleh para 
biarawati. Lama-kelamaan saya tahu, kok suster- 
suster yang ada di dalamnya yang duduk sebagai 
pengelola atau manajer di hampir semua 
departemen ini kelihatanya 'makmur' ya? Ujung- 
ujungnya saya tahu, 'pepatah' yang beredar di 
antara rekan-rekan kerja benar, bahwa jika ingin 
kaya, jadi saja suster! Astaghfirullah! 
Sambil kerja, saya sekolah lagi. Di bangku kuliah, 
sebuah universitas milik yayasan Islam 
terkemuka, para dosen kami ini kok enak saja 
kalau absen. Seandainya nggak ngajar, mereka 
begitu saja biarkan jadwal-tinggal-jadwal, tanpa 
ada pemberitahuan kepada mahasiswa. Apalagi 
mengganti jam-jam kosong. Padahal kalau kami, 
mahasiswa terlambat bayar uang kuliah, didenda 
kan? Hanya mahasiswa bodoh dan malas yang 
'senang' apabila dosen nya tidak datang. Bukankah 
dosen-dosen macam ini adalah contoh guru yang 
bermental korupsi? 
Di perjalanan ke kampus setiap hari, saya biasa 
naik mikrolet yang berkapasitas delapan orang di 
belakang, serta dua orang di depan termasuk 
sopir. Eh! Ternyata yang duduk bisa sampai 
duabelas orang di belakang dan tiga orang di 
depan termasuk si sopir. Jika penumpang 
mengeluh soal overloaded ini, sang sopir bilang: 
“Naik aja taksi kalau ingin enak!” Itu belum lagi jika 
penumpangnya ada yang gemuk, betapa tidak 
nyamannya naik transport ini. Padahal kita juga 
bayar kan? 
Yang enak, hidup di desa barangkali! Bisa bebas 
dari berbagai bentuk korupsi. Begitu kiraku. 
Kalau punya ladang atau sawah sendiri, itu yang 
digarap. Nyatanya, kemungkinan korupsi masih 
tetap ada. Di sawah kita juga bisa korupsi 
misalnya: air sawah! Kita bisa manfaatkan air yang 
mengalir secara tidak adil. Jatah orang lain yang 
letaknya di belakang sawah kita tidak terlalu kita 
perhatikan, alias kita dominasi penggunaan airnya. 
Petani lain akhirnya gagal panennya karena ulah 
kita. Wah! Jadi petani pun juga tidak begitu saja 
terhindar dari korupsi. 
Seorang adik saya, lulusan IKIP, hingga sepuluh 
tahun terakhir ini statusnya masih guru tidak tetap 
di sebuah sekolah swasta. Saya bilang: itu lebih 
baik dibanding harus 'menyogok' penjabat 
Depdiknas yang kata dia sebesar dua puluh lima 
juta rupiah. Beberapa orang tetangga saya sejak 
dua puluh tahun lalu, hingga sekarang ini, masih 
juga memiliki satu ceritera yang tidak pernah 
berubah: korupsi dalam pencarian kerja! Jadi 
satpam pabrik, atau buruh di pabrik plastik, 
mustahil tanpa KKN! 
Kalau saya urut bentuk dan macam-macam 
korupsi yang terjadi di negeri ini, terlalu panjang 
untuk ditulis. Sampai kapan hal ini berlangsung? 
Adakah pemimpin bangsa negeri ini concerned 
terhadap fenomena yang berlangsung layaknya 
flu allergica ini? Saya berharap muncul 
kepemimpinan yang meneladani sosok Umar bin 
Khattab r.a. atau Abu Bakar Sidik r.a. Mereka yang 
berani memberantas korupsi dan jujur dalam 
tindakannya. 
Manusia, apapun profesinya, apakah itu dokter, 
insinyur, perawat, guru, sopir, pedagang, 
biarawati, kyai, buruh pabrik, satpam, hingga 
petani, kalau tidak terkendali, semuanya rawan 
akan korupsi. Pelaku atau korban korupsi, kedua- 
duanya sama saja! 
Manusia memang tidak akan pernah puas dengan 
apa yang dimiliknya. Guna pemenuhan kepuasan 
ini, banyak cara digunakan tanpa memandang 
apakah halal atau haram. Teman-teman kerja 
saya, hampir tidak pernah ada selesainya kalau 
berbicara masalah kepuasan ini. Sudah punya HP 
Alcatel ingin Ericsson, kemudian mencoba Nokia. 
Tidak lama, ingin memiliki HP yang berkamera. 
Sekarang, mau mencoba pula yang bervideo- 
camera dilengkapi radio. Biar rekan-rekan ada 
yang berpenghasilan sepuluh juta per bulan, 
masih kurang. Seorang rekan kerja, berprofesi 
sebagai auditor keuangan, mengaku gajinya lebih 
dari tiga puluh juta, juga belum cukup katanya. 
Astagfirullah! 
Lingkungan kerja memang amat berpengaruh 
besar dalam pembinaan moral korupsi ini. Itulah 
pengalaman yang saya temui. Dua puluh tahun 
bukankah waktu yang relatif cukup untuk 
mengevaluasi apakah lingkungan kerja kita 
berpotensi membuat kita menjadi seseorang 
korup atau tidak? Betapapun kita sholat lima 
waktu, pengajian seminggu tiga kali, kalau teman- 
teman dalam lingkungan kerja kita rata-rata 
terjerat dalam lingkaran korupsi ini, lantas akan 
berdiri di mana kita? 
Saya tidak merasa bersih, apalagi suci. Namun 
melihat environment seperti ini, membuat saya 
akhirnya pindah-pindah kerja beberapa kali. Kalau 
kita mau 'bersih'di sebuah instansi, kita akan 
dianggap makhluk 'aneh'. Tolong dirumuskan, 
bagaimana caranya menolak tanda tangan uang 
yang disodorkan kepada kita bila kita dibayar 
tanpa melakukan sebuah tugas? Jika kita 
menolaknya, kepala bagian keuangan akan dibuat 
repot. Repot karena penyusunan anggarannya 
kompeks sekali, termasuk pembagian 'jatah' tadi 
melalui perhitungan yang 'njlimet'. Risiko lainnya, 
jika kita tidak mau menerima duit tadi, kita disebut 
sok suci, atau akan dikucilkan teman-teman 
kantor. Sementara kalau mau menerima, timbul 
konflik batin. Kita memakan duit bukan dari hasil 
keringat kita sendiri. 
Ironisnya, ibu-ibu rumah tangga di sekitar kita, 
banyak yang kurang peka masalah ini. Mereka 
puas dengan apa yang telah dibawa pulang 
suaminya. Bukannya menanyakan: “Dari mana 
Pak datangnya semua duit ini?” 
“Kapan ya kita bisa terapkan kultur budaya tanpa 
harus korupsi ini?” tanyaku pada diri sendiri di 
tengah-tengah proses demokrasi akbar yang 
sedang kita alami ini. Sosok yang bisa bebas 
korupsi ini barangkali seperti profesi yang digeluti 
oleh seorang janda tua di pinggiran Trenggalek- 
Jawa Timur sana. Mbok Giyem namanya, Dukun 
Beranak profesinya. 
Di dalam rumahnya, di sebuah desa terpencil 
Dongko, di tengah gunung, saya hanya melihat 
sebuah amben kecil, dua buah kursi kayu yang 
sudah kehitaman termakan usia. Satu meja kecil di 
pojokan ruang tamu yang diatasnya tergeletak 
sebuah Partus Kit, perlengkapan menolong 
persalinan hadiah dari Puskesmas setempat. 
Dukun beranak terampil ini puas dengan 
kehidupan sehari-harinya, tanpa menuntut banyak 
kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada ibu bersalin 
yang harus dia kunjungi, atau bayi yang harus dia 
rawat, atau ibu hamil yang butuh pijat, dia bawa 
keranjang kecilnya ke ladang atau sawahnya. Dia 
cari apa-apa yang bisa dikerjakan atau bekal 
masak secukupnya di dapur rumah gedeknya. 
Mbok Giyem mengatakan tidak pernah mematok 
harga berapa pasiennya harus membayar 
jasanya, meski nenek tua itu harus naik-turun 
gunung di tengah malam. Entah sudah berapa 
jumlah bayi yang sudah lahir lewat 
pertolongannya. Di tengah kesulitan medan yang 
jauh dari gemerlap hidup kota, digelutinya profesi 
langka ini dengan ikhlas. 
Saya yakin, nenek tua ini akan terkejut sekiranya 
mengetahui betapa dalam kehidupan kota, banyak 
ditemui orang-orang yang berpendidikan tinggi, 
yang menyandang profesi yang tidak jauh 
dengan apa yang beliau lakukan, tidak lagi tulus 
menjalankan tanggung jawabnya. Korupsi sudah 
lumrah dan menjadi keseharian orang-orang di 
lingkungan kesehatan. Buktinya? Masuk ruang 
gawat darurat saja di banyak rumah sakit sulit 
sekali. Bisa jadi mimpi jika tidak ada uang, 
betapapun darah mengalir deras, pelayanan 
kesehatan bisa didapat. Uang dulu, nyawa 
kemudian! 
Sebagai warga negara, rasanya tidak berlebihan 
jika kita berharap dalam kepemimpinan 
mendatang nanti, seperti halnya kepemimpinan 
dua Khalifah diatas, pemerintah kita mampu 
membawa bangsa ini kepada prospek kehidupan 
yang lebih baik. Sesak rasanya nafas ini ketika 
korupsi hampir menyelimuti seluruh aspek 
kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita. 
Ketika saya kirim email pada Rini, seorang 
karyawati di Jakarta, menanyakan sedang musim 
apa saat ini, dia jawab, “Kalau udara, sepertinya 
sedang musim pancaroba. Jadi, sebentar 
panassss... kemudian gelap dan hujan. Makanya 
orang Indonesia baik dan ramah, karena udara 
juga mendukung. Tidak seperti di UAE... udara 
panas, jadi hati orang pun mungkin cepat panas!” 
Apa yang disampaikan Rini mungkin ada 
benarnya, bahwa kondisi udara di Indonesia 
membuat penduduknya tidak harus cepat-cepat, 
apalagi tergesa-gesa dalam banyak hal. Tidak 
seperti di Inggris dan Canada yang dingin sekali, 
atau negara-negara Arab sana yang panas 
menyengat. Namun kenapa di negara-negara 
yang terlalu dingin ataupun terlalu panas udaranya 
ini angka korupsinya minim sekali? Apakah karena 
sikap ramah-tamah kita ini sehingga untuk 
memberantas korupsi pun kita masih harus 
berlambat-ria? Wallahu a'lam !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar