Kamis, 03 November 2011

Sebuah Renungan Untuk Kita

ADA KALA TIADA...

Kalimat tersebut diatas begitu melekat dan mengikat kuat didalam diri saya, gak tau knapa, hanya saja kalimat tersebut dapat menjadi "cakram" terhadap kesombongan dan keangkuhan saya.

Terima kasih mas Ahmad ada ceritanya, semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari true story tsb.

Kadang kita merasakan arti kehadiran seseorang ketika orang tersebut sudah tidak disamping kita. Hfff,... mungkin itulah makna hidup kita sebagai manusia yang tidak bisa terlepas sebagai mahluk sosial yang dituntut untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan banyak orang.

Apakah...
Kita harus merasakan sakit terlebih dahulu untuk bisa merasakan nikmatnya hidup sehat?
Kita harus terpuruk lebih dahuku untuk bisa bangkit dan berdiri?
Kita harus berpisah dahulu untuk bisa merasakan arti kehadiran seseorang?

Kadang sifat ego kita mengalahkan sikap rasional kita, sesungguhnya gak ada manusia yg bisa bertahan hidup apabila mengandalkan ego semata, You'll never walk alone (kalo boleh mengutip marsnya Anfield gank)

Gak kebayang rasanya apabila kita mesti menguras air mata utk bisa membujuknya kembali, padahal ketika beliau ada kita malah 'menelantarkannya'

Yupp, saatnya kita meluruskan niat, hati dan pandangan kita bahwa semua orang yang ada disekeliling kita (bahkan bukan hanya mahluk yang berjenis 'orang') bahwa mereka lah yang menjadikan kita seoperti saat ini, mereka lah yang mendukung & mendo'akan kita tanpa perlu diminta serta melalui perjuangan dan pengorbanan mereka pula lah kita bisa berinteraksi & berkomunikasi melalui milis ini. Ya, karena mereka (dan tentunya Anda juga) semuanya hingga Allah SWT menunjukan Kasih Sayang-Nya agar kita bisa berjalan beriringan langkah menuju arah yg lebih baik.

Mestinya, kita sudah mulai berani jujur dalam menyikapi hidup bahwa senyum mereka, tulus mereka serta pengorbanan mereka yang bisa mengantarkan kita untuk menjadi manusia yang seutuhnya, yaa... mereka semuanya sbg mahluk Allah SWT yg diciptakan untuk menyertai dan membimbing kita dalam perjalanan hidup di dunia ini, semoga kelak di akhirat nanti kita dalam berkumpul kembali di surga-Nya, Amien...


Cerita Ini Sedih Banget (hiiks...)
Saya teruskan ke Anda, sekadar berbagi 'kisah sejati'.

25 tahun yang lalu,
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania harus
tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali
hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan
tabur melati atau hidangan istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku
masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi.
Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami
sederhana, ingin hidup bahagia.

22 tahun yang lalu,

Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku. Ya,
keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan.
Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan sempurna,
maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah,
mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan
aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua
Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku
tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan
berubah.



19 tahun yang lalu,

Kamila ku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari, melompat-lompat
atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak
"Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang
senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang
berteriak,"Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang". Itu artinya, ada yang
pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca.
Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat tidur ke
lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua
kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?"

18 tahun yang lalu,

Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar
bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak
membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi ja di pemain bola seperti
yang sering diucapkannya.
"Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola!" tapi aku tidak suka dia
menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola.
Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah
kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.
"Horee, Iya jadi pemain bola."

17 Tahun yang lalu

Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah aja.
Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana
Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu,
hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku
sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin
ketengah jalan.
Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan
"Iyaaaa". Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya
berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya
Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang yang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki,
bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke
rumah konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu
tak belikan ia bola!"

15 tahun yang lalu,



Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah
sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur.
Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah.
Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu
Kania ia hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar
untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia a kan tetap
pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia .

13 tahun yang lalu,

Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu hanya
setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk
Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan
segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. aku bekerja
serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku
miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia
ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan.
Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu,

Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup
berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan
hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. "Biar cantik kalo kere ya
kelaut aje." Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar
dia tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya, Nak!" hiburku. "Pak, Iya
pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku menangis.
Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku.
Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku,
ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah
menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.

7 tahun yang lalu,

Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui pikiranku.
Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku
sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang mem buat aku
takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia . Sulit baginya
mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena
alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku habis dan dia ingin agar aku
beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal.
Setelah itu dia akan pulang,
menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini
pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik
saja.

4 tahun lalu,

Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana . Dia
bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya.
Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk.
Matanya tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan
nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang.
Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan berhenti
bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu
menunggu hingga masa itu tiba.
Kamila bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan
untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap
bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat hingga beduk manghrib
berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,

Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia , kabarnya
anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami
majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini.
Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh.
Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk
menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku
selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar
anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,

Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia
harus menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa
apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi
apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola
apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.
wahai Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia .
Anakku ingin aku ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia
kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa
daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke
arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa
ditukar, aku ingin menggantikannya. "Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"
"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya
dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati.
Iya tidak salah kan , Pak!" Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku.
Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu
menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat.
Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak
mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada
wanita itu.

2 tahun yang lalu,

Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya. Aku
mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak
ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana . Petugas itu
membuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak
bisa lagi menangis.
Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah
kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku
mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis
wajah yang kukenal. "Kania?"
"Mas Har, kau . !"
"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"
"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.
"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."
"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku
itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan
secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang
gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama."
Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,

Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku tahu, aku
belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia
ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan
jenazahnya padaku, dia sering berteriak, "Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak."
Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang
benar, tak seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak
kita.
Benarkah begitu Iya sayang?

Kiriman dari seorang teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar